Prediksi Tren Bisnis Setelah Pandemi Covid-19
Pandemi Covid-19 memaksa kita sebagai pebisnis dan konsumen untuk berubah mulai dari saluran berinteraksi antara konsumen dengan merek, sampai perilaku konsumen yang berubah. Hal ini menuntut pebisnis untuk bisa beradaptasi mengikuti perkembangan yang sebagian besar adalah permasalahan digitalisasi. Perubahan digitalisasi ini diprediksi akan terus berlanjut bahkan setelah pandemi Covid-19 selesai, sebagai pebisnisnya Anda tentunya tidak ingin tertinggal dari yang lain bukan untuk itu Anda perlu mempersiapkan diri dari sekarang berdasarkan perubahan-perubahan yang terjadi pada pasar akibat Covid-19.
Pandemi Covid-19 Mengubah Perilaku Konsumen Selamanya
Dalam survei yang dilakukan McKinsey dari 13 negara sebanyak ⅔ konsumen mencoba sarana baru untuk berbelanja. Sebanyak 65% dari konsumen tersebut, berniat untuk terus menggunakan sarana baru ini. Hal ini menunjukan perubahan perilaku pelanggan, yang harus diikuti keberadaan online dari perusahaan, perusahaan yang tidak mampu melakukan digitalisasi akan tertinggal. Pandemi Covid-19 juga mempercepat peralihan digital pada pasar yang masih berkembang seperti India dan Brazil, sedangkan pasar eropa yang sudah lama menerapkan digitalisasi menunjukan antusiasme konsumen yang tidak terlalu tinggi kecuali di dua negara yaitu Britania Raya dan Amerika Serikat.
Di pasar e-commerce Amerika Serikat diprediksi pertumbuhan sebesar 24% jika dalam kondisi normal pada 2024, nyatanya pada bulan Juli 2020 pertumbuhan-nya sudah sudah mencapai 33%. Sedangkan di negara-negara Amerika Latin terjadi pertumbuhan sebesar 5% sampai 10% selama pandemi. Di negara-negara maju seperti uni eropa, adopsi bisnis digital meningkat mencapai 95% dari 81% sebelum pandemi Covid-19. Pada kondisi normal peningkatan ini membutuhkan waktu sekitar 2-3 tahun. Disamping itu juga terjadi pertumbuhan signifikan pada negara-negara yang rendah penetrasi bisnis online-nya seperti Jerman, Swiss, dan Rumania.
Meskipun ada kelemahan dari bisnis online seperti loyalitas konsumen yang rendah. Tetapi, dari survei yang dilakukan McKinsey terdapat 60% perusahaan retail yang sedang bersiap untuk merambah e-commerce. Namun trennya jelas, banyak konsumen beralih ke online. Untuk menjangkau mereka, perusahaan juga harus beralih online.
Penyeimbangan dan Pergeseran Rantai Pasok
Covid-19 menunjukan kelemahan pada rantai pasok dari banyak perusahaan yang panjang dan rumit. Ketika suatu negara atau pabrik menurun produksinya seluruh dunia ikut merasakan dampaknya. Untuk itu diperlukan penyeimbangan ulang. Setiap eksekutif yang mempelajari rantai pasok perusahaan akan menemukan bahwa perbedaan biaya produksi antara negara maju dan berkembang semakin mengecil. Perusahaan yang mengadopsi prinsip 4.0 (data, analisis, interaksi manusia dan mesin, robotik yang maju, dan 3-D printing) dapat menekan sampai setengah perbedaan biaya pekerja Amerika Serikat dan China. Selanjutnya, kebanyakan perusahaan tidak tahu apa yang terjadi diluar rantai pasok mereka. Dimana banyak pemain kecil yang tidak terlihat tapi memiliki peran penting. Dengan perkembangan AI dan analisis data perusahaan dapat mempelajari lebih lanjut tentang audit dan menghubungkan rantai nilai secara keseluruhan. Dengan begitu artinya, setiap perusahaan tidak lagi akan memasok barang ke negara asal atau pangsa pasar terbesarnya untuk melakukan penjualan, melainkan mereka akan memanfaatkan keunggulan dari setiap wilayah untuk masuk ke pasar yang sedang bertumbuh.
Perubahan Cara Bekerja
Photo by Campaign Creators on Unsplash
Sebelum pandemi tidak pernah terpikirkan untuk bekerja jarak jauh. Tetapi Covid-19 mengubah segalanya, sekarang jutaan pekerja bekerja jarak jauh. McKinsey memperkirakan terdapat 20% pekerja di dunia yang dapat bekerja jarak jauh dan tetap dapat memberikan hasil yang sama baiknya dengan bekerja di kantor. Namun, Covid-19 bukanlah satu-satunya pendorong kerja jarak jauh tapi juga kemajuan teknologi yang memungkinkannya.
Ada 2 tantangan dalam bekerja jarak jauh, yang pertama adalah menentukan peran dari kantor itu sendiri yang berperan dalam membentuk budaya perusahaan dan menimbulkan rasa kepemilikan. Ketika perusahaan memutuskan untuk kembali ke kantor mereka harus mempertimbangkan apa yang kantor dapat berikan pada organisasi ? Tantangan lainnya adalah menentukan kapasitas kerja karyawan dengan adanya digitalisasi, otomatisasi,dan penggunaan teknologi lainnya. Contohnya industri retail yang saat ini banyak menggunakan pembayaran otomatis, hal ini berdampak pada pekerja kasir yang tadinya bertugas untuk melayani pembayaran, sekerang mereka dituntut untuk mempelajari keahlian baru.
Secara hitung-hitungan bisnis, meningkatkan keahlian karyawan biayanya jauh lebih murah daripada mempekerjakan karyawan baru dengan kualifikasi yang tinggi. Berinvestasi pada karyawan juga berdampak pada loyalitas, kepuasan konsumen, dan citra merek yang baik. Untuk meningkatkan keahlian karyawan mana para manajer perlu mengetahui keahlian yang diperlukan perusahaan saat ini dan dimasa mendatang, perusahaan harus menawarkan kesempatan bagi karyawan untuk meningkatkan keahliannya dan mengevaluasi apakah kesempatan yang diberikan memberikan timbal balik yang menguntungkan dan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Dan yang tidak kalah pentingnya, perlunya dibangun budaya belajar organisasi dan komitmen dari para petinggi perusahaan.
Revolusi Industri Biofarma
Berita vaksin Covid-19 merupakan berita yang baik, maka dari itu menjadi tantangan bagi perusahaan farmasi untuk memproduksi vaksin-vaksin ini dalam jumlah massal dan pendistribusian yang cepat. Vaksin Covid-19 ini tidak seperti vaksin pada umumnya yang menggunakan virus yang dilemahkan untuk meningkatkan imunitas tubuh. Vaksin yang diproduksi oleh Moderna dan BioNTech-Pzifier menggunakan teknologi mRNA. Teknologi ini sebenarnya sudah dikembangkan sejak lama, tetapi vaksin buatan perusahaan-perusahaan ini merupakan vaksin mRNA pertama yang mendapatkan persetujuan untuk digunakan pada manusia.
Seperti halnya teknologi yang mendorong perkembangan bisnis pada masa pandemi, dunia medis juga dipaksa berinovasi lebih cepat karena kebutuhan vaksin Covid-19 yang berdampak pada kemajuan teknologi-teknologi lainnya dalam industri medis. Urgensi telah menciptakan momentum, vaksin yang seharusnya membutuhkan waktu beberapa dekade untuk diproduksi, sekarang ini dalam kurun waktu satu tahun sudah bisa tersedia. Tetapi yang terpenting adalah bagaimana berbagai macam sarana dan disiplin ilmu yang berbeda bisa saling terhubung dalam satu kesatuan seperti bioteknologi, pengurutan genetik, komputasi, analisis data, otomatisasi, pembelajaran mesin, dan AI.
Pemerintah khususnya kementerian kesehatan juga harus bergerak cepat dengan membuat regulasi yang menjamin keamanan vaksin yang diproduksi. Pemerintah perlu membuat panduan produksi dan distribusi yang jelas dengan akidah sains dan protokol ketat, yang mendorong kolaborasi setiap pemain industri yang terlibat dalam mengumpulkan dan mengevaluasi data, yang menjadi dasar dalam pengembangan vaksin yang lebih cepat.
Pengembangan vaksin Covid-19 hanyalah awal dari revolusi biomolekul, bio sistem, biomachine, dan biocomputing. Menurut laporan McKinsey sebanyak 45% penyakit yang ada saat ini dapat dicegah dengan teknologi yang sudah ada. Contohnya penyakit malaria yang membunuh 250 ribu orang per tahun, sekarang dapat dicegah dengan melakukan rekayasa genetika. Di masa depan nantinya vaksin-vaksin diprediksi bahkan dapat menyembuhkan penyakit jantung dan kanker.
Potensi biofarma ini tidak hanya berdampak pada kesehatan saja tetapi juga ekonomi global, sebanyak 60% produk global adalah produk biologis (alami) termasuk sektor agrikultur (rekayasa genetika dapat menambahkan kandungan vitamin pada tanaman), energi (biofuel dari rekayasa genetika mikroba), dan material (jaring laba-laba yang bisa memperbaiki diri). Seluruh sektor industri tersebut menggunakan dan mengadopsi teknologi biofarma dapat menghasilkan triliunan dollar dari produk yang dihasilkan, industri ini akan menjadi raksasa dalam beberapa tahun kedepan.
Percepatan Restrukturisasi
Photo by Maxim Hopman on Unsplash
Pandemi Covid-19 memberikan dampak yang berbeda-beda pada setiap sektor industri, ada yang mengalami peningkatan ada juga yang tenggelam. Berkaca dari resesi yang pernah dialami, ketika ekonomi mulai berjalan normal perbedaan antar sektor ini akan mengecil dan setiap sektor industri akan kembali ke keadaan-nya semula. Dari pengalaman yang terjadi, industri yang dapat bertahan akan semakin kuat dan yang menurun akan semakin lemah atau kolaps. Yang membedakan adalah kemampuan perusahaan untuk menjadikan kelemahan mereka sebagai keunggulan kompetitif.
McKinsey melakukan survei pada 1500 perusahaan untuk melihat kemungkinan perusahaan tersebut bangkrut. Survei tersebut menemukan, perusahaan dengan performa terbaik tidak akan bergantung pada kekuatan mereka melainkan membangun kekuatan baru untuk menghadapi keadaan saat ini. Sehingga, dibutuhkan penyesuaian portofolio yang substansial pada neraca perusahaan dalam konteks aset di diskon dan yang aset yang penilaiannya lebih rendah. Faktanya, sudah terjadi perubahan pada portofolio perusahaan-perusahaan ini pada pertengahan tahun 2020.
Faktor kedua yang mendukung kemungkinan restrukturisasi portofolio adalah ketersediaan modal. Banyak perusahaan yang diakuisisi dan melantai di bursa saham, tercatat ada 81 IPO hanya pada bulan Agustus dari 111 IPO selama tahun 2020. Yang jauh lebih penting adalah private equity (PE). Secara global, perusahaan PE memiliki hampir $ 1,5 triliun modal yang siap diinvestasikan. Meskipun pasar Amerika sedang lesu tapi pasar global tetap kuat, modal yang diputar di pasar global mencapai sebesar $ 348,5 miliar pada September 2020, jumlah ini setara dengan lima tahun sebelumnya pada kondisi normal sebelum pandemi, hal ini menunjukan peningkatkan kerja sama yang terjadi terutama di Asia yang berlipat ganda.
Ramah Lingkungan
Photo by Maxim Hopman on Unsplash
Diseluruh negara polusi merupakan hasil industrialisasi yang wajar terjadi, karena itu keberlangsungan lingkungan hidup dengan industri yang ramah lingkungan saat ini menjadi perhatian. China dan India saat ini berinvestasi pada energi hijau dalam jumlah dan skala masif yang dianggap mustahil beberapa dekade lalu. Amerika Serikat juga mulai beralih dari batu bara ke energi yang lebih hijau seperti baterai dan teknologi karbon serta kendaraan yang ramah lingkungan.
Hal ini jelas berdampak pada bisnis, industri perlu merespon pada kebutuhan pasar yang ramah lingkungan. Krisis COVID-19 menunjukkan seperti apa krisis iklim: sistematik, cepat, luas, dan global. Oleh karena itu industri perlu menentukan batasan polusi yang mereka produksi, dan berinvestasi pada layanan yang lebih ramah lingkungan dan melakukan diversifikasi rantai pasok untuk menurunkan jejak karbon.
Yang lebih penting, pertumbuhan pasar “hijau” yang signifikan dapat menjadi peluang bagi industri untuk masuk dan mendapatkan keuntungan. Peluang pertumbuhan industri “hijau” terjadi di berbagai sektor besar seperti energi, transportasi, dan pertanian. Pertumbuhan industri "hijau" ini akan menjadi pesaing perusahaan teknologi yang memberikan keuntungan besar bagi pemodal dalam beberapa tahun kebelakang, di masa depan perusahaan “hijau” lah yang menjadi pemain besar.
Sumber
Sneader, K., & Singhal, S. (2021, February 22). The next normal arrives: Trends that will define 2021—and beyond. McKinsey & Company. https://www.mckinsey.com/featured-insights/leadership/the-next-normal-arrives-trends-that-will-define-2021-and-beyond#
Baca Juga
Tren Bisnis yang Terjadi Tahun 2021 dan Selanjutnya